Advertise Here

Thursday, December 7, 2017

MODEL-MODEL PENDIDIKAN ISLAM

MODEL-MODEL PENDIDIKAN ISLAM

Description: C:\Users\UNCOMP~1\AppData\Local\Temp\WPDNSE\{00000F3A-0001-0001-0000-000000000000}\.facebook_1424236614518.jpg

Diajukan Guna Memenuhi Tugas Terstruktur
Mata Kuliah : Kapita Selekta Pendidikan Islam
Dosen Pengampu :
Nurfuadi M.Pd.I.

Oleh :
Wahid Faozi                            1323302054

6 PBA A
PROGRAM STUDIPENDIDIKAN BAHASA ARAB
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
PURWOKERTO
2016


PENDAHULUAN
Pendidikan islam yang bertugas menggali, menganalisis dan mengembangkan serta mengamalkan ajaran islam yang bersumberkan Al Qur’an dan Al Hadits cukup memperoleh bimbingan dan arahan dari kandungan makna yang terungkap dari kedua sumber tuntutan tersebut. Secara embrionik, dorongan, dan rangsangan ajaran Al Qur’an terhadap pengembangan rasio untuk pemantapan iman takwa diperkokoh melalui ilmu pengetahuan manusia merupakan cirri khas islami, yang tidak terdapat di dalam kitab-kitab suci agama lain. Al Qur’an sebagai pedoman hidup umat manusia telah menggelarkan wawasan dasar yang mendalam dan meluas sampai pada penemuan ilmu dan teknologi yang canggih.
Orientasi pendidikan islam yang diletakkan oleh Rasulullah pada awal risalahnya ialah menumbuhkembangkan sistem kehidupan sosial yang penuh kebijakan dan kemakmuran, dan akhirat yang bertumpu pada nilai-nilai moral yang tinggi. Ketiga dimensi orientasi dasar tersebut menjadi modal pokok untuk mendinamisasikan umat manusia pada kurun waktu permulaan sejarah pendidikan islam. 
Oleh karena itu berbagai model pendidikan islam yang berorientasi perspektif ke masa depan merupakan jawaban yang tepat guna. Modal pendidikan islam yang berorientasi kepada pola pikir bahwa nilai-nilai lama yang konservatif dan asketis harus dilestarikan dalam sosok pribadi muslim yang resistan terhadap pukulan gelombang zaman. Jika pendidikan islam berorientasi kepada pola pikir bahwa nilai-nilai islami yang mengandung potensi mengubah nasib masa lampau ke masa kini.




A.    PENGERTIAN PENDIDIKAN ISLAM
Pendidikan Agama Islam usaha sadar dan terencana untuk menyiapkan siswa dalam meyakini, memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran islam melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau latihan (Departemen Agama, 2004:2). Pendidikan islam yang hakikatnya merupakan sebuah proses itu, dalam pengembangannya juga dimaksud sebagai rumpun mata pelajaran yang diajarkan di sekolah maupun perguruan tinggi.[1]
B.     MODEL-MODEL PENDIDIKAN ISLAM
Pendidikan islam yang bertugas pokok menggali, menganalisis dan mengembangkan serta mengamalkan ajaran islam yang bersumberkan Al-Quran dan Al-Hadits, cukup memperoleh bimbingan dan arahan dari kandungan makna yang terungkap dari kedua sumber tuntunan tersebut. Makna komprehensif dari smber tersebut menjangkau dan melingkupi segala aspek kehidupan manusia modern. Sejak manusia baru mrmahami dan menghayatimakna kehidupan primordial yang mistis dan planpleksis  dimana alam sekitar dalam segala bentuk kekutnnyamenjadi apa yang disebut oleh Rudolf Otto sebagi mystrium tremendum dan mystrium fascinas (suatu kekutan gaib yang menakutkan dan menarik hati) sampai dengan kemampuan hidup yang rasionalistik, analitik, sintetik, dan logic terhadp kekuatan alam sekitar menyadarkan manusia akan fungsinya sebagai kholifah di muka bumi yang alloplastik  terhadap lingkungannya. Sumber ajaran islam itu benar-benar lentur dnan kenyal serta responsive tenggap terhadap tuntutan  hidup manusi yang makin maju dn modern dalam segala bidang kehidupan, termasuk bidang ilmu dan teknologi canggih yang masa kini sedang berkembang kea rah puncaknya. [2]
Orientasi dasar pendidikan islam yang diletakkan Rosululloh pada awal risalahnya ialah menumbuhkembangkan system kehidupan sosial yang penuh kebajikan dan kemakmuran (dengan amal sholeh), meratakan kehidupan ekonomi yang berkeadilan sosial berpolakan dunia dn akhirat yang bertumpu pada nilai-nilai moral yang tinggi; dan berorientasi kepada kebutuhan pendidikan yang mengembangkan daya kreativitas dan pola piker intelektual bagi terbinanya tekno-sosial yang berkeadilan dan berkemakmuran. Ketiga dimensi orientsi dasar tersebut menjadi modal pokok untuk mendinamissikan umat manusia pada kurun waktu permulan sejarah pendidikan islam, yaitu pad zaman Nabi dan sahabat besar Nabi (Khulafa’ ar-rasyidin). Pendidikan islam benar-benar menggugah potensi alami manusia yang suci bersih sehingga mengacu kepada tuntutan aspiratifyang bercitra Ilahiah dan Insaniah. Pendidikan pada masa itumampu menjadikan kaum muslimin sebagai pelaku positif terhadap pembangunan diri pribadi dan masyarakatnya sehingga self-propelling  dalam proses mencapai baldatun thoyyibatun warabbun ghofur.
Sendi-sendi fundamental mendasari kehidupan psikologi manusia, yaitu iman tauhid yang berdimensi ketakwaan yang monolonya kepada Alloh, berhasil didorong da dipacu untuk berperan nyata dalam segal bidang kehidupan yang melahirkan sikap hidup fastabiqul khoiroot.
Menurut Al-Ghazali, secara potensial pengetahuan itu telah eksis dalam jiwa manusia bagaikan benih yang ada di dalam tanah. Melalui belajar potensi itu akan menjadi actual (A.L. Tibawi. 1972. P. 42-43). Al-Ghazali memandang bahwa system perkembangan kemampuan rasionalitas itu berdasrkan pola keseimbangan penalaran dengan pengalaman mistik yang memberikan ruang begi bekerjahnya rasio, serta keseimbangan antara berfikir deduktif dengan pengalaman empiris manusia. Orientasi Al-Ghazali yang bercorak empiris dalam pendidikan tampak disisi lain, seperti keharusan seorang pendidik memperbaiki sikap dan perilaku pendidik pada waktu bertugas mengajar. (l-Djumlathy, etl, p.111-115.
Model pendidikan yang berorientasi perspektif ke masa depan merupakan jawaban yang tepat guna. Model-model pendidikan yang terbukti tidak memuaskan tuntunan umat terlihat pada praksisasinya sebagai berikut:
1.      Model pendidikan islam yang berorientasi kepada pola piker bahwa nilai-nilai lama yang konservatif dan asketis harus dilestarikan dalam sosok pribadi muslim yang resistan terhadap pukulan gelmbang zaman. Merupakan cirri utama pendidikan esensialistik. Orientasi demikian sudah tentu kurang dapat diandalkan oleh umat untuk menjawab tantangan zaman.
2.      Jika pendidikan islam berorientasi kepada pola piker bahwa nilai-nilai islami yang mengandung potensi mengubah nasib masa lampau ke masa kini yang dijadikan inti kurikulum pendidikan, maka model pendidikan islam menjadi bercorak parenialistik, dimana nilai-nilai yang terbukti tahan lama saja yang diinternalisasikan ke dalam pribadi anak didik.sedang nilai-nilai potensial bagi semangat pembaruan ditinggalkan.
3.      Bila pendidikan islam hanya berorientasi  pada personalisasi kebutuhan pendidikan dalam segala aspeknya, maka ia bercorak individualis, dimana potensi aloplastik (bersifat mengubah dan membangun) masyarakat dan alam kurang mengacu kepada kepada kebutuhan sosiokultural.
4.      Jika opendidikan yang berorientasi kepada masa epan sosio,masa depan tekno, dan masa depan bio, dimana ilmu dan teknologi menjadi pelaku perubahan dan pembaruan kehidupan sosial, maka pendidikan islam bercorak teknologis, dimana nilai-nilai samawi ditinggalkan diganti dengan nilai-nilai pragmatic-realivistik cultural.
5.      Akan tetapi jika pendidikan islam berorientasi kepada pekembangan masyarakat berdasarkan dialogis dimana manusia ditempatkan sebagai geiger-counter, pendeteksi sinar radioaktif elemen-elemen sosial yang berpotensi controversial ganda, yaitu membahagiakan dan menyejahtaerakan. Maka mekanisme aksi-reaksi dalam perkembangan manusia menjadi gersang dari nilai-nilai ilahi yang mendasari fitrahnya.[3]
Dengan memperhatikan potensi psikologis dan pedagogis manusia anugrah Alloh, model pendidikan islam seharusnya berorientasi pada pandangan falsafah
1.      Filosofis
Berdasarkan pendekatan filosofis, ilmu pendidikan islam dapat diartikan studi tentang proses kependidikan yang didasari oleh nilai-nilai ajaran islam yang bersumber kepada kitab suci Al-Quran dan Sunah Nabi Muhammad SAW.[4]
Filosofis memandang manusia didik adalah hamba Tuhan yang diberi kemampuan fitrah, dinamis dan sosial-relijius serta yang psiko-fisik. Cenderung kepada penyerahan diri secara total kepada maha pencipta
2.      Etimologis
Potensi berilmu pengetahuan yang berpijak pada iman dan berilmu pengetahuan untuk menegakkan iman yang bertauhid, yang basyariyyah-dharuriyah,  menjadi shibghah manusia muslim sejati berderajat mulia.
3.      Pedagogis
Manusia adalah makhluk belajar sejak dari dari ayunan sampai liang lahat yang proses perkembangannya didasari nulai-nilai islami yang dialogis terhadap untunan tuhan dan tuntutan perubahan sosial, lebih cenderung kepada pola hidup yang harmonis antara kepentingan duniawi dan ukhrowi, serta kemampuan belajarnya disemangati oleh kekhalifahan di muka bumi.
Secara kurikuler model-model tersebut didesain menjadi;
1.      Content (materi)
Hal ini lebih difokuskan pada permasalaha soiokultural masakini untuk diproyeksikan kemasa depan, dengan kemampuan anak didik mengungkapkan tujuan dan nila-nilainya yang inheren dengan tuntutan Tuhan. Materi pelajaran menantang anak didik untuk melakukan evaluasi dan memecahkan problema-problema kehidupan nyata, dimana nilai-nilai manusia selaku hamba Tuhan lebih dikedepankan.[5]
2.      Pendidik
Menurut teori  barat, pendidik dalam islam ialah siapa saja yang bertanggung jawab terhadap perkembangan anak didik. Dalam islam, orang yang paling bertanggung jawab tersebut adalah orang tua (ayah dan ibu) anak didik. [6]
Sifat-sifat yang harus dimiliki seorang guru diantaranya adalah:
a.       Guru harus mengasihi murid-muridnya seperti mengasihi anak-anaknya.
b.      Hubungan antara guru dan murid haruslah baik dan erat.
c.       Guru haruslah memperhatikan keadaan anak-anak dan mempelajari jiwa anak-anak.
d.      Guru harus sadar akan kewajibannya terhadap masyarakat.
e.       Guru haruslah menjadi contoh bagi keadilan, kesucian dan kesempurnaan.[7]
3.      Anak didik
Dalam proses belajar mengajar melakukan hubungan dialogis dengan yang lain, (guru, teman-teman sebaya dan orang dewasa, serta alam sekitar). Dia belajar secara interpendent  dan bersama-sama menghayati persepsi terhadap realitas kehidupan dan memperhatikan persepsi orang lain.
Jadi corak demikian adalah bersifat inovatif (innovative learning) bukan belajar melestarikan apa yang ada (maintenance learning), konservatif dan pasif serta dogmatis.[8]


DAFTAR PUSTAKA
Arifin Muzayyin, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Jakarta:Bumi Aksara, 2003.
Tafsir Ahmad, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2003.
Yunus Mahmud, Pokok-Pokok Pendidikan Dan Pengajaran, Jakarta: PT Hidakarya Agung, 1978.
Arifin, Ilmu Pendidikan Islam , Jakarta: Bumi Aksara, 2000.
Nazarudin, Manajemen Pembelajaran, Jogjakarta:Teras, 2007.




[1] Nazarudin, Manajemen Pembelajaran, (Jogjakarta:Teras, 2007) ,  hlm. 12.
[2] Muzayyin Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Jakarta:Bumi Aksara, 2003),  hlm. 24.
[3] Ibid., hlm. 30.
[4] Arifin, Ilmu Pendidikan Islam , (Jakarta:Bumi Aksara, 2000), hlm. 86.
[5] Muzayyin Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Jakarta:Bumi Aksara, 2003),  hlm. 32.
[6] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam perspektif islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,  2004), hlm.74.
[7] Mahmud Yunus, Pokok-Pokok Pendidikan dan Pengajaran, (Jakarta: PT Hidakarya Agung, 1978), hlm. 61.
[8]  Muzayyin Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Jakarta:Bumi Aksara, 2003),  hlm. 33.

Wednesday, December 6, 2017

PERLUNYA KETRAMPILAN BERPERANG KETIKA MENGHADAPI MUSUH

PERLUNYA KETRAMPILAN BERPERANG KETIKA MENGHADAPI MUSUH



Diajukan Guna Memenuhi Tugas Terstruktur
Mata Kuliah : Tafsir Hadits Tarbawi
Dosen Pengampu :
M. Misbah, M.Ag.

Oleh :
Wahid Faozi                            1323302054


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
PURWOKERTO
2016


PERLUNYA KETRAMPILAN BERPERANG KETIKA MENGHADAPI MUSUH

A.    HADITS RIWAYAT ABU DAWUD
حدثنا سعيد بن منصور ثنا عبد الله بن وهب قال أخبرني عمرو بن الحارث عن أبي علي ثمامة بن شفي الهمداني أنه سمع عقبة بن عامر الجهني يقول
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ عَلَى الْمِنْبَرِ يَقُولُ { وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ } أَلَا إِنَّ الْقُوَّةَ الرَّمْيُ أَلَا إِنَّ الْقُوَّةَ الرَّمْيُ أَلَا إِنَّ الْقُوَّةَ الرَّمْيُ[1]
     Artinya:
Uqbah Ibnu Amir R.A berkata: Aku mendengar Rasululloh Sholallohu ‘alaihi Wasallam Di atas mimbar membaca (Dan siapkanlah kekuatan dan pasukan berkuda untuk menghadapi mereka sekuat tenagamu), ingatlah bahwa kekuatan itu adalah memanah, ingat bahwa kekuatan itu adalah memanah. H.R Abu Dawud[2]
B.     ISI KANDUNGAN HADITS
     Pada hadits diatas dijelaskan bahwa persiapan dalam menghadapi kaum kafir adalah quwwah (kekuatan).[3] Yang dimaksudkan dengan quwwah di sini adalah segala sesuatu yang menjadi sebab bagi terjadinya kekuatan. Tak jauh berbeda, Al-Syaukani juga memaknainya sebagai salah satu yang dapat membuat lebih kuat dalam peperangan, termasuk di dalamnya adalah busur panah. [4] Hadits tersebut memerintahkan kepada kaum muslimin untuk mempersiapkan segala kemampuan untuk menghadapi perang.
            Dalam dunia pendidikan, ada berbagai macam kajian dalam dunia pendidikkan salah satunya adalah pendidikan ketrampilan. Pendidikan ketrampilan adalah bimbingan yang diberikan kepada anak agar memiliki kemampuan dalam hal membuat atau menciptakan sesuatu untuk melakukan kegiatan atau hal yang baik dan cermat terhadap sumber-sumber yang ada dilingkungannya. Dalam artian sempit ketrampilan ditujukan pada kegiatan-kegiatan yang menciptakan melalui prakarya.
Sesuai hadits yang di riwayatkan oleh Abu Dawud, Rasululloh Solallohu ‘alaihi Wasallah memerintahkan untuk selalu mempersiapkan dirinya  khususnya dalam bidang ketrampilan, dimana ketrampilan tersebut bisa digunakan pada masa yang akan datang.
            Banyak anak-anak yang lebih menyukai sesuatu seperti prakarya dan lebih tertarik pada bidang-bidang seni yang membutuhkan keterampilan. Pendidikan keterampilan itu sendiri bisa didapatkan dengan berbagai les seperti les memasak, les menjahit, les alat musik, les melukis, dsb yang dikemudian hari dapat berguna bagi kehidupan anak-anak tersebut dan masyarakat disekitarnya. Tapi pendidikan keterampilan pada saat ini kurang diperhatikan dan dikembangkan didunia pendidikan kita secara maksimal. Hal ini timbul karena pihak pendidikan banyak berorientasi anak didiknya untuk mencapai nilai-nilai tertinggi didalam mata pelajaran tertentu yang diujikan secara nasional. Padahal secara konsep dasar dunia pendidikan seharusnya anak didik dibimbing untuk mencapai kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotor
            Padahal hal ini menyebabkan banyak para lulusan terutama tingkat menengah keatas bahkan perguruan tinggi setelah menamatkan pendidikan, mereka tidak bisa menciptakan lapangan pekerjaan untuk orang lain bahkan untuk dirinya sediri. Mereka berlomba-lomba untuk mencari pekerjaan diinstansi negri maupun swasta. Tapi daya tamping untuk keduanya tidak sebanding dengan banyaknya masyarakat yang ingin mencari pekerjaan. Hal inipun menimbulkan banyaknya pengangguran.
            Hal ini tidak akan terjadi jika para anak didik diberikan kesempatan untuk lebih mendalami bidang keterampilan yang mereka minati, sehingga setelah lulus mereka bisa menggunakan keterampilan mereka untuk menjadi sebuah lapangan pekerjaan bagi dirinya sendiri bahkan orang lain. Maka dari itu orang-orang yang menjadi pendidik bagi anak didik ini disarankan dapat menciptakan keseimbangan dalam pendidikan untuk mempersiapkan anak-anak ini agar bisa menciptakan lapangan pekerjaan sehingga pengangguran berkuarang dan menanamkan bahwa mereka mempunyai nilai jual tinggi jika mempunya suatu keahlian atau keterampilan.[5]







Daftar Pustaka
Ubaid, Da’as, Sunan Abu Dawud, (Darul Mughaini: Dar Ibnu Hizm)
http://www.kompasiana.com/elizabethgabriella/manfaat-pendidikan-keterampilan










[1] Sunan abu dawud jilid III, hlm. 20.

Wednesday, May 31, 2017

Bagi Kawan-kawan yang ingin menyimpan dan berbagi makalah bisa hubungi Admin via Whatsapp yaa. Ada hadiah menarik bagi kalian yang rajin menabung dan berbagi makalah di bankmakalahkita.blogspot.com. Terimakasih atas kunjungan dan partisipasinya, Sampai jumpa di lain waktu.
Whatsapp; +6285742316223

Monday, May 15, 2017

Pengertian Filsafat Ilmu

A.    Ilmu dan Filsafat
Ilmu merupakan pengetahuan yang digumuli sejak di bangku sekolah sampai pada pendidikan tinggi. Berfilsafat tentang ilmu berarti kita berterus terang kepada diri kita sendiri; Apakah sebenarnya yang saya ketahui tentang ilmu?, Bagaimana saya ketahui bahwa ilmu merupakan pengetahuan yang benar?
Karakteristik berpikir filsafat yang pertama adalah sifat menyeluruh. Seorang ilmuan tidak puas lagi mengenal ilmu hanya dari segi sudut pandang ilmu itu sendiri. Dia ingin melihat hakikat ilmu dalam konstelasi pengetahuan yang lainnya, misalnya Dia ingin tahu kaitan ilmu dengan moral. Selain itu membongkar tempat berpijak secara fundamental, inilah karakteristik yang keua dari berpikir filsafat yaitu mendasar.

Apakah yang sebenarnya ditelaah filsafat?
Selaras dengan dasarnya yang spekulatif, maka dia menelaah segala masalah yang mungkin dapat dipikirkan oleh manusia, mempersoalkan hal-hal yang pokok; terjawab masalah yang satu, diapun mulai merambah pertanyaan lainnya. Pokok permasalahan yang dikaji filsafat mencakup tiga segi yakni apa yang disebut benar dan apa yang disebut dengan salah (logika), mana yang dianggap baik dan mana yang dianggap buruk (etika) dan apa yang termasuk indah dan apa yang termasuk jelek (estetika). Ketiga cabang ini kemudian berkembang luas hingga saat ini yang melahirkan berbagai cabang kajian filsafat yang kita jumpai seperti filsafat politik, pendidikan dan agama.
Filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemologi (filsafat pengetahuan) yang secara spesifik mengkaji hakikat ilmu (pengetahuan ilmiah). Filsafat ilmu merupakan telaahan secara filsafat yang ingin menjawab beberapa pertanyaan mengenai hakikat ilmu seperti; Objek apa yang ditelaah ilmu? Bagaimana ujud yang hakiki dari objek tersebut? Bagaimana hubungan antara objek tadi denga daya tangkap indera manusia yang membuahkan pengetahuan?.
Untuk membedakan janis pengetahuan yang satu dari pengetahuan yang lain, maka pertanyaan yang dapat diajukan adalah: Apa yang dikaji oleh pengetahuan itu (ontologi)? Bagaimana caranya mendapatkan pengetahuan tersebut (epistemologi)? Serta untuk apa pengetahuan termaksud dipergunakan (aksiologi)? Dengan mengetahui ketiga pertanyaan itu maka dengan mudah kita dapat membedakan berbagai jenis pengetahuan yang terdapat dalam khasanah kehidupan manusia.

B. Pengartian dan Dasar-dasar Pengetahuan
1. Pengertian Pengetahuan
Mendefinisikan pengetahuan merupakan kajian panjang sehingga terjadi pergulatan sejarah pemikiran filsafati dalam menemukan pengertian pengetahuan. Hal ini wajar karena “keistimewaan” filsafat adalah perselisihan, pergumulan pemikirannya itu berlangsung terus selamanya. Suatu produk pemikiran filsafat selalu ada yang menguatkan, mengkritik, melemahkan bahkan akan ada yang merobohkan pemikiran itu. Kelakpun akan dijumpai yang satu menegaskan sedang yang lain mengingkari. Begitulah seterusnya akan selalu berada dalam bingkai dialektika.
Sedangkan Ilmu merupakan pengetahuan yang terorganisasi dan diperoleh melalui proses keilmuan. Sedangkan proses keilmuan adalah cara memperoleh pengetahuan secara sistematsi tentang suatu sistem. Perolehan sistematis ini biasanya atau pada umunya berupa metode ilmiyah. Dari proses metode ilmiah itu melahirkan “science”. Science atau tepatnya Ilmu pengetahuan memilki arti spesifik bila digandengkan dengan ilmu pengetahuan yaitu sebagai kajian keilmuan yang tersistematis sehingga menjadi teori ilmiah-obyektif ( dapat dibuktikan secara empiris ) dan prediktif ( menduga hasil empiris yang bisa diperiksa sehingga bisa jadi hasilnya bersesuaian atau bertentangan dengan realita empiris).

Pengetahuan dalam pandangan Rasionalis bersumber dari “Idea”. Tokoh awalnya adalah Plato (427-347). Menurutnya alam idea itu kekal, tidak berubah-ubah. Manusia semenjak lahir sudah membawa idea bawaan sehingga tinggal mengingatnya kembali untuk menganalisa sesuatu itu.
Istilah yang digunakan Rene Descartes (1596-1650) sebagai tokoh rasionalis dengan nama “innete idea”. Penganut rasionalis tidak percaya dengan inderawi karena inderawi memiliki keterbatasan dan dapat berubah-ubah. Sesuatu yang tidak mengalami perubahan itulah yang dapat dijadikan pedoman sebagai sumber ilmu pengetahuan. Aristatoles dan para penganut Empirisme-Realisme menyangggah yang disampaikan oleh kaum Rasionalis. Mereka berdalih bahwa ide-ide bawaan itu tidak ada. Hukum-hukum dan pemahaman yang universal bukan hasil bawaan tetapi diperoleh melalui proses panjang pengamatan empiric manusia. Aristatoles berkesimpulan bahwa ide-ide dan hukum yang universal itu muncul dirumuskan akal melalui proses pengamatan dan pengalaman inderawi.
Pengetahuan yang tidak bisa diukur dan dibuktikan dengan empiric-realitas-material merupakan pengetahuan yang hayali, tahayul dan bohong (mitos). Aliran empirisme menyatakan bahwa pengetahuan itu diperoleh melalui pengalaman-pengalaman yang konkrit. Sedangkan aliran rasionalis berpendapat bahwa pengetahuan manusia didapatkan melalui penalaran rasional. Kedua pendekatan ini merupakan cikal bakal lahirnya positivisme modern dalam kajian keilmuan.
2. Dasar-dasar Pengetahuan
Penalaran merupakan suatu proses berpikir dalam menarik sesuatu kesimpulan yang berupa pengetahuan. Manusia pada hakikatnya merupakan mahluk yang berpikir, merasa, bersikap dan bertindak. Sikap dan tindakan yang bersumber pada pengetahuan yang didapat melalui kegiatan merasa atau berpikir. Penalaran menghasilkan pengetahuan yang dikaitkan dengan kegiatan berpikir dan bukan dengan perasaan. Penalaran mempunyai ciri, yaitu: merupakan suatu proses berpikir logis, dimana berpikir logis diartikan sebagai kegiatan berpikir menurut suatu pola tertentu atau menurut logika tertentu dan sifat analitik dari proses berpikirnya, menyandarkan diri pada suatu analisis dan kerangka berpikir yang digunakan untuk analisis tersebut aalah logika penalaran yang bersangkutan, artinya kegiatan berpikir analisis adalah berdasarkan langkah-langka tertentu. Tidak semua kegiatan berpikir mendasarkan pada penalaran seperti perasaan dan intuisi.
Ditinjau dari hakikat usahanya, maka dalam rangka menemukan kebenaran, kita dapat bedakan jenis pengetahuan. Pertama, pengetahuan yang didapatkan melalui usaha aktif dari manusia untuk menemukan kebenaran, baik secara nalar maupun lewat kegiatan lain seperti perasaan dan intusi. Kedua, pengetahuan yang didapat tidak dari kegiatan aktif menusia melainkan ditawarkan atau diberikan seperti ajaran agama. Untuk melakukan kagiatan analisis maka kegiatan penalaran tersebut harus diisi dengan materi pengetahuan yang berasal dari sumber kebenaran yaitu dari rasio (paham rasionalisme) dan fakta (paham empirisme). Penalaran ilmiah pada hakikatnya merupakan gabungan penalaran deduktif (terkait dengan rasionalisme) dan induktif (terkait dengan empirisme).
. Penalaran merupakan proses berpikir yang membuahkan pengetahuan. Agar pengetahuan yang dihasilkan dari penalaran itu mempunyai dasar kebenaran maka proses berpikir itu harus dilakukan dengan suatu cara tertentu. Penarikan kesimpulan dianggap benar jika penarikan kseimpulan dilakukan menurut cara tertentu tersebut. Cara penarikan kesimpulan ini disebut dengan logika.

C. Sumber Pengetahuan
Pada dasarnya terdapat dua cara yang pokok bagi manusia untuk mendapatkan pengetahuan yang benar. pertama, mendasarkan diri pada rasional dan mendasarkan diri pada fakta. Disamping itu adanya intuisi dan wahyu. Intuisi merupakan pengetahuan yang didapat tanpa melalui proses penalaran tertentu, seperti ”orang yang sedang terpusat pemikirannya pada suatu masalah tiba-tiba menemukan jawabannya.
Salah satu pembahasan dalam epistimoogi adalah sumber-sumber ilmu pengetahuan. Sumber pengetahuan pada masyarakat relegius berawal dari sesuatu yang sakral dan transenden. Tuhan merupakan sumber dan sebab pertama “causa prima” dari segala sesuatu. Manusia tidak akan menemukan kebenaran yang hakiki selama meninggalkan yang essensi ini.
Sumber ilmu pengetahuan untuk mengatahui hakekat segala sesuatu bagi masyarakat relegius tidak cukup dengan menggunakan panca indera dan akal saja tetapi ada dua unsur lain yaitu ” wahyu ( revelation) dan ilham (intuisi)”. Wahyu itu adalah salah satu dari wujud “Ketuhanan” dan ilham atau intuisi adalah termanifestaasikan dalam diri para nabi dan rasul. Sehingga para agamawan mengatakan bahwa kitab suci (wahyu) merupakan sumber ilmu pengetahuan yang disampaikan oleh manusia pilihan Tuhan kepada umat manusia
D. Sarana Berpikir Ilmiah Untuk memperoleh Pengetahuan
Adapun sarana berpikir ilmiah adalah sebagai berikut:
1. Bahasa
Bahasa memegang peranan penting dan suatu hal yang lazim dalam hidup dan kehidupan manusia, kelaziman tersebut membuat manusia jarang memperhatikan bahasa dan mengganggapnya sebagai suatu hal yang biasa seperti bernafas dan berjalan. Bahasa sebagai sarana komunikasi antar manusia tanpa bahasa maka tak ada komunikasi, tanpa komunikasi apakah manusia layak disebut dengan mahluk social?
Sebagai sarana komunikasi maka segala yang berkaitan dengan komunikasi tidak terlepas dari bahasa seperti berpikir sistemastis dalam menggapai ilmu dan pengetahuan dengan kata lain tanpa mempunyai kemampuan berbahasa, seseorang tidak dapat melakukan kegiatan berpikir secara sitematis dan teratur.

a. Pengertian Bahasa dan Fungsinya
Banyak Ahli Bahasa yang telah memberi uraian tentang pengertian bahasa, sudah barang tentu setiap ahli berbeda-beda cara menyampaikannnya. Bloch and Trager menyatakan bahwa bahasa adalah suatu sistem simbol-simbol bunyi arbitrer yang dipergunakan oleh suatu kelompok social sebagai alat untuk berkomunikasi, sementara Joseph Broam mengatakan bahwa bahasa adalah suatu sistem yang berstruktur dari simbol-simbol bunyi arbitirer yang dipergunakan oleh para anggota suatu kelompok social sebagai alat bergaul satu sama lain.
Di dalam kamus besar bahasa Indonesia, Pengertian Bahasa ada tiga yaitu:
a) Sistem lambang bunyi berartikulasi (yang dihasilkan alat-alat ucap) yang dipakai sebagai alat komunikasi untuk melahirkan perasaan dan pikiran
b) Perkataan-perkataan yang dipakai oleh suatu bangsa
c) Percakapan (perkataan yang baik, sopan santun, tingkah laku yang baik).
Jadi bahasa dapat kita cirikan sebagai serangkaian bunyi yang mempunyai makna tertentu dalam suatu kelompok social tertentu.
Para pakar juga berselisih paham dalam hal fungsi bahasa. Aliran filsafat bahasa dan psikolingustik melihat fungsi bahasa sebagai sarana untuk menyampaikan pikiran, perasaan dan emosi sedangkan aliran sosiolingustik berpendapat bahwa fungsi bahasa adalah sarana untuk perubahan masyarakat.
Walupun tampak perbedaan, pendapat ini saling melengkapi, yang secara umum dapat dinyatakan bahwa fungsi bahasa adalah:
1. Koordinator kegiatan masyarakat
2. Penetapan pikiran dan pengungkapan
3. Penyampaian pikiran dan perasaan
4. Penyenangan jiwa
5. Pengurangan kegoncangan jiwa
b. Bahasa sebagai sarana berpikir ilmiah
Untuk dapat berpikir ilmiah, seseorang selayaknya menguasai kriteria maupun langkah-langkah dalam kegiatan ilmiah, dengan menguasai hal tersebut tujuan yang akan dicapai akan terwujud.
Bahasa sebagai alat komunikasi verbal yang digunakan dalam proses berpikir ilmiah dimana bahasa merupakan alat berpikir dan alat komunikasi untuk menyampaikan jalan pikiran kepada orang lain, baik pikiran yang berlandaskan logika induktif maupun deduktif, dengan kata lain kegiatan berpikir ilmiah ini sangat berkaitan erat dengan bahasa, menggunakan bahasa yang baik dalam berpikir belum tentu mendapatkan kesimpulan yang benar apalagi dengan bahasa yang tidak baik dan benar.
Ketika bahasa disifatkan dengan ilmiah, fungisnya untuk komunikasi disifatkan dengan ilmiah juga, yakni komunikasi ilmiah, komunikasi ilmiah ini merupakan proses penyampaian informasi berupa pengetahuan.
2. Statistika
Disadari atau tidak, statistika telah banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari, pertanyaan-pertanyaan seperti; Tiap bulan habis ± Rp. 50.000,- untuk keperluan rumah tangga, ada 60% penduduk yang memerlukan perumahan permanen, 10% anak-anak SD mengalami putus sekolah tiap tahun dan sebagainya. Dunia penelitian atau riset, dimanapun dilakukan bukan saja telah mendapat manfaat yang baik dari statistika tetapi sering harus menggunakannya, untuk mengetahui apakah cara yang baru ditemukan lebih baik dari pada cara yang lama, melalui riset yang dilakukan di laboratorium atau penelitian yang dilakukan di lapangan.
Dalam kamus ilmiah populer, kata statistika berarti table, grafik, daftar informasi, angka-angka. Sedangkan statistika berarti ilmu pengumpulan, analisis-analisis dan klasifikasi data, angka sebagai dasar untuk induksi.
Banyak persoalan Apakah itu hasil penelitian riset atapun pengamatan, baik yang dilakukan khusus ataupun berbentuk laporan dinyatakan atau dicatat dalam bentuk bilangan atau angka-angka kumpulan angka-angka itu sering disusun diatur disajikan dalam bentuk table atau daftar sering pula disertai dengan gambar-gambar yang biasa disebut diagram atau grafik supaya lebih dapat menjelaskan lagi tentang persoalan yang sedang dipelajari.
Jadi ringkasnya bisa kita katakan bahwa statistika adalah pengetahuan yang berhubungan dengan data, pengelolaan dan penarikan kesimpulannya berdasarkan kumpulan data dan analisa yang dilakukan.
Statistika merupakan sarana berpikir yang diperlukan untuk memproses pengetahuan secara ilmiah, sebagai bagian dari perangkat metode ilmiah, statistika membantu kita untuk melakukan generalisasi dan menyimpulkan karasteristik suatu kejadian secara lebih pasti dan bukan terjadi secara kebetulan.
3. Logika
Logika adalah sarana berpikir sistematis, valit dan dapat dipertanggung jawabkan, karena itu berpikir logis adalah berpikir sesuai dengan aturan-aturan berpikir, seperti setengah tidak boleh lebih besar dari pada satu.
Kata Logika dapat diartikan sebagai penalaran karena penalaran merupakan suatu proses berpikir yang membuahkan pengetahuan. Agar pengetahuan yang dihasilkan penalaran itu mempunyai dasar kebenaran maka proses berpikir itu harus dilakukan dengan suatu cara tertentu.
Cara penarikan kesimpulan ini disebut logika, dimana logika secara luas dan dapat didefinisikan sebagai “pengkajian untuk berpikir secara benar.
Terdapat dua cara penarikan kesimpulan yakni; Logika Induktif dan Logika Deduktif logika induktif erat hubungannya dengan penarikan kesimpulan dari kasus-kasus individual nyata menjadi kesimpulan yang bersifat umum. Sedangkan logika deduktif yang membantu kita dalam menarik kesimpulan dari hal yang bersifat umum menjadi kasus yang bersifat individual (khusus).
Logika membantu manusia berpikir lurus, efisien tepat dan teratur mendapatkan kebenaran dan menghindari kekeliruan.












BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian pembahasan makalah diatas, penulis dapat menyimpulkan beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Karakteristik berpikir filsafat yang pertama adalah sifat menyeluruh. Seorang ilmuan tidak puas lagi mengenal ilmu hanya dari segi sudut pandang ilmu itu sendiri. Dia ingin melihat hakikat ilmu dalam konstelasi pengetahuan yang lainnya, misalnya Dia ingin tahu kaitan ilmu dengan moral. Selain itu membongkar tempat berpijak secara fundamental, inilah karakteristik yang keua dari berpikir filsafat yaitu mendasar.
2. Pengetahuan dalam bahasa Inggris barasal dari kata “Knowledge” yang berarti pengetahuan. Pengetahuan manusia yang maju mengenai hal-hal yang empiric disebut ilmu ( science ).
3. Penalaran merupakan suatu proses berpikir dalam menarik sesuatu kesimpulan yang berupa pengetahuan.
4. Sumber ilmu pengetahuan untuk mengatahui hakekat segala sesuatu bagi masyarakat relegius tidak cukup dengan menggunakan panca indera dan akal saja tetapi ada dua unsur lain yaitu ” wahyu ( revelation) dan ilham (intuisi) Sarana Berpikir Ilmiah Untuk memperoleh Pengetahuan
5. Sarana-sarana yang dipakai untuk berpikir ilmiah adalah bahasa, matematika, statistika dan logika
6. Proses berfikir ilmiah adalah merupakan sekumpulan Langkah-langkah berpikir yang bersifat objektif, rasional, sistematis dan generalisasi


DAFTAR PUSTAKA

 Husen Al-Habsy, Kamus Al-Kautsar Lengkap, Bangil : Yayasan Pesantren Islam (YAPPI), 1987
v
 Cecep Sumarna, Filsafat Ilmu (dari Hakikat menuju Nilai), Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2006
v
 M. Amin Abdullah, Studi Agama ; Normativitas atau Historisitas?, Yogyakarta : Pustaka Palajar, 1999
v
 Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, Cet. I, Pt. Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2004
v
 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia…Op.
v
 Drs. Mundiri, Logika, Rajawali Press, Jakarta: t.th
v
 Jujun S. Sumantri.2005. Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.
v
B.      
http://hisyamnur.blogspot.com/2009/12/dasar-dasar-pengetahuan-dalam-filsafat.html