MODEL-MODEL PENDIDIKAN ISLAM
![Description: C:\Users\UNCOMP~1\AppData\Local\Temp\WPDNSE\{00000F3A-0001-0001-0000-000000000000}\.facebook_1424236614518.jpg](file:///C:\Users\WAHED~1\AppData\Local\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image002.jpg)
Diajukan Guna Memenuhi Tugas Terstruktur
Mata Kuliah : Kapita Selekta Pendidikan Islam
Dosen Pengampu :
Nurfuadi M.Pd.I.
Oleh :
Wahid Faozi 1323302054
6 PBA A
PROGRAM STUDIPENDIDIKAN BAHASA ARAB
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
PURWOKERTO
2016
PENDAHULUAN
Pendidikan islam yang bertugas
menggali, menganalisis dan mengembangkan serta mengamalkan ajaran islam yang
bersumberkan Al Qur’an dan Al Hadits cukup memperoleh bimbingan dan arahan dari
kandungan makna yang terungkap dari kedua sumber tuntutan tersebut. Secara
embrionik, dorongan, dan rangsangan ajaran Al Qur’an terhadap pengembangan
rasio untuk pemantapan iman takwa diperkokoh melalui ilmu pengetahuan manusia
merupakan cirri khas islami, yang tidak terdapat di dalam kitab-kitab suci
agama lain. Al Qur’an sebagai pedoman hidup umat manusia telah menggelarkan
wawasan dasar yang mendalam dan meluas sampai pada penemuan ilmu dan teknologi
yang canggih.
Orientasi pendidikan islam yang
diletakkan oleh Rasulullah pada awal risalahnya ialah menumbuhkembangkan sistem
kehidupan sosial yang penuh kebijakan dan kemakmuran, dan akhirat yang bertumpu
pada nilai-nilai moral yang tinggi. Ketiga dimensi orientasi dasar tersebut
menjadi modal pokok untuk mendinamisasikan umat manusia pada kurun waktu
permulaan sejarah pendidikan islam.
Oleh karena itu berbagai model
pendidikan islam yang berorientasi perspektif ke masa depan merupakan jawaban
yang tepat guna. Modal pendidikan islam yang berorientasi kepada pola pikir
bahwa nilai-nilai lama yang konservatif dan asketis harus dilestarikan dalam
sosok pribadi muslim yang resistan terhadap pukulan gelombang zaman. Jika
pendidikan islam berorientasi kepada pola pikir bahwa nilai-nilai islami yang
mengandung potensi mengubah nasib masa lampau ke masa kini.
A.
PENGERTIAN PENDIDIKAN ISLAM
Pendidikan Agama Islam usaha sadar dan terencana untuk menyiapkan
siswa dalam meyakini, memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran islam melalui
kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau latihan (Departemen Agama, 2004:2).
Pendidikan islam yang hakikatnya merupakan sebuah proses itu, dalam
pengembangannya juga dimaksud sebagai rumpun mata pelajaran yang diajarkan di
sekolah maupun perguruan tinggi.[1]
B.
MODEL-MODEL PENDIDIKAN ISLAM
Pendidikan islam yang bertugas pokok menggali, menganalisis dan
mengembangkan serta mengamalkan ajaran islam yang bersumberkan Al-Quran dan
Al-Hadits, cukup memperoleh bimbingan dan arahan dari kandungan makna yang
terungkap dari kedua sumber tuntunan tersebut. Makna komprehensif dari smber
tersebut menjangkau dan melingkupi segala aspek kehidupan manusia modern. Sejak
manusia baru mrmahami dan menghayatimakna kehidupan primordial yang mistis dan planpleksis
dimana alam sekitar dalam segala
bentuk kekutnnyamenjadi apa yang disebut oleh Rudolf Otto sebagi mystrium
tremendum dan mystrium fascinas (suatu kekutan gaib yang menakutkan
dan menarik hati) sampai dengan kemampuan hidup yang rasionalistik, analitik,
sintetik, dan logic terhadp kekuatan alam sekitar menyadarkan manusia akan
fungsinya sebagai kholifah di muka bumi yang alloplastik terhadap lingkungannya. Sumber ajaran islam
itu benar-benar lentur dnan kenyal serta responsive tenggap terhadap
tuntutan hidup manusi yang makin maju dn
modern dalam segala bidang kehidupan, termasuk bidang ilmu dan teknologi
canggih yang masa kini sedang berkembang kea rah puncaknya. [2]
Orientasi dasar pendidikan islam yang diletakkan Rosululloh pada
awal risalahnya ialah menumbuhkembangkan system kehidupan sosial yang penuh
kebajikan dan kemakmuran (dengan amal sholeh), meratakan kehidupan ekonomi yang
berkeadilan sosial berpolakan dunia dn akhirat yang bertumpu pada nilai-nilai
moral yang tinggi; dan berorientasi kepada kebutuhan pendidikan yang
mengembangkan daya kreativitas dan pola piker intelektual bagi terbinanya
tekno-sosial yang berkeadilan dan berkemakmuran. Ketiga dimensi orientsi dasar
tersebut menjadi modal pokok untuk mendinamissikan umat manusia pada kurun
waktu permulan sejarah pendidikan islam, yaitu pad zaman Nabi dan sahabat besar
Nabi (Khulafa’ ar-rasyidin). Pendidikan islam benar-benar menggugah potensi
alami manusia yang suci bersih sehingga mengacu kepada tuntutan aspiratifyang
bercitra Ilahiah dan Insaniah. Pendidikan pada masa itumampu menjadikan kaum
muslimin sebagai pelaku positif terhadap pembangunan diri pribadi dan
masyarakatnya sehingga self-propelling dalam proses mencapai baldatun thoyyibatun
warabbun ghofur.
Sendi-sendi fundamental mendasari kehidupan psikologi manusia,
yaitu iman tauhid yang berdimensi ketakwaan yang monolonya kepada Alloh,
berhasil didorong da dipacu untuk berperan nyata dalam segal bidang kehidupan
yang melahirkan sikap hidup fastabiqul khoiroot.
Menurut Al-Ghazali, secara potensial pengetahuan itu telah eksis
dalam jiwa manusia bagaikan benih yang ada di dalam tanah. Melalui belajar
potensi itu akan menjadi actual (A.L. Tibawi. 1972. P. 42-43). Al-Ghazali
memandang bahwa system perkembangan kemampuan rasionalitas itu berdasrkan pola
keseimbangan penalaran dengan pengalaman mistik yang memberikan ruang begi
bekerjahnya rasio, serta keseimbangan antara berfikir deduktif dengan
pengalaman empiris manusia. Orientasi Al-Ghazali yang bercorak empiris dalam
pendidikan tampak disisi lain, seperti keharusan seorang pendidik memperbaiki
sikap dan perilaku pendidik pada waktu bertugas mengajar. (l-Djumlathy, etl,
p.111-115.
Model pendidikan yang berorientasi perspektif ke masa depan
merupakan jawaban yang tepat guna. Model-model pendidikan yang terbukti tidak
memuaskan tuntunan umat terlihat pada praksisasinya sebagai berikut:
1.
Model pendidikan islam yang berorientasi kepada pola piker bahwa
nilai-nilai lama yang konservatif dan asketis harus dilestarikan dalam sosok
pribadi muslim yang resistan terhadap pukulan gelmbang zaman. Merupakan cirri
utama pendidikan esensialistik. Orientasi demikian sudah tentu kurang dapat
diandalkan oleh umat untuk menjawab tantangan zaman.
2.
Jika pendidikan islam berorientasi kepada pola piker bahwa
nilai-nilai islami yang mengandung potensi mengubah nasib masa lampau ke masa
kini yang dijadikan inti kurikulum pendidikan, maka model pendidikan islam
menjadi bercorak parenialistik, dimana nilai-nilai yang terbukti tahan lama
saja yang diinternalisasikan ke dalam pribadi anak didik.sedang nilai-nilai
potensial bagi semangat pembaruan ditinggalkan.
3.
Bila pendidikan islam hanya berorientasi pada personalisasi kebutuhan pendidikan dalam
segala aspeknya, maka ia bercorak individualis, dimana potensi aloplastik
(bersifat mengubah dan membangun) masyarakat dan alam kurang mengacu kepada kepada
kebutuhan sosiokultural.
4.
Jika opendidikan yang berorientasi kepada masa epan sosio,masa
depan tekno, dan masa depan bio, dimana ilmu dan teknologi menjadi pelaku
perubahan dan pembaruan kehidupan sosial, maka pendidikan islam bercorak
teknologis, dimana nilai-nilai samawi ditinggalkan diganti dengan nilai-nilai
pragmatic-realivistik cultural.
5.
Akan tetapi jika pendidikan islam berorientasi kepada pekembangan
masyarakat berdasarkan dialogis dimana manusia ditempatkan sebagai geiger-counter,
pendeteksi sinar radioaktif elemen-elemen sosial yang berpotensi
controversial ganda, yaitu membahagiakan dan menyejahtaerakan. Maka mekanisme
aksi-reaksi dalam perkembangan manusia menjadi gersang dari nilai-nilai ilahi
yang mendasari fitrahnya.[3]
Dengan memperhatikan potensi psikologis dan pedagogis manusia
anugrah Alloh, model pendidikan islam seharusnya berorientasi pada pandangan
falsafah
1.
Filosofis
Berdasarkan pendekatan filosofis, ilmu pendidikan islam dapat
diartikan studi tentang proses kependidikan yang didasari oleh nilai-nilai
ajaran islam yang bersumber kepada kitab suci Al-Quran dan Sunah Nabi Muhammad
SAW.[4]
Filosofis memandang
manusia didik adalah hamba Tuhan yang diberi kemampuan fitrah, dinamis dan
sosial-relijius serta yang psiko-fisik. Cenderung kepada penyerahan diri secara
total kepada maha pencipta
2.
Etimologis
Potensi berilmu pengetahuan yang berpijak pada iman dan berilmu
pengetahuan untuk menegakkan iman yang bertauhid, yang basyariyyah-dharuriyah,
menjadi shibghah manusia
muslim sejati berderajat mulia.
3.
Pedagogis
Manusia adalah makhluk belajar sejak dari dari ayunan sampai liang
lahat yang proses perkembangannya didasari nulai-nilai islami yang dialogis
terhadap untunan tuhan dan tuntutan perubahan sosial, lebih cenderung kepada
pola hidup yang harmonis antara kepentingan duniawi dan ukhrowi, serta
kemampuan belajarnya disemangati oleh kekhalifahan di muka bumi.
Secara kurikuler model-model tersebut didesain menjadi;
1.
Content (materi)
Hal ini lebih difokuskan pada permasalaha soiokultural masakini
untuk diproyeksikan kemasa depan, dengan kemampuan anak didik mengungkapkan
tujuan dan nila-nilainya yang inheren dengan tuntutan Tuhan. Materi
pelajaran menantang anak didik untuk melakukan evaluasi dan memecahkan
problema-problema kehidupan nyata, dimana nilai-nilai manusia selaku hamba
Tuhan lebih dikedepankan.[5]
2.
Pendidik
Menurut teori barat,
pendidik dalam islam ialah siapa saja yang bertanggung jawab terhadap
perkembangan anak didik. Dalam islam, orang yang paling bertanggung jawab
tersebut adalah orang tua (ayah dan ibu) anak didik. [6]
Sifat-sifat yang harus dimiliki seorang guru diantaranya adalah:
a.
Guru harus mengasihi murid-muridnya seperti mengasihi anak-anaknya.
b.
Hubungan antara guru dan murid haruslah baik dan erat.
c.
Guru haruslah memperhatikan keadaan anak-anak dan mempelajari jiwa
anak-anak.
d.
Guru harus sadar akan kewajibannya terhadap masyarakat.
e.
Guru haruslah menjadi contoh bagi keadilan, kesucian dan
kesempurnaan.[7]
3.
Anak didik
Dalam proses belajar mengajar melakukan hubungan dialogis dengan
yang lain, (guru, teman-teman sebaya dan orang dewasa, serta alam sekitar). Dia
belajar secara interpendent dan
bersama-sama menghayati persepsi terhadap realitas kehidupan dan memperhatikan
persepsi orang lain.
Jadi corak demikian adalah bersifat inovatif (innovative
learning) bukan belajar melestarikan apa yang ada (maintenance learning),
konservatif dan pasif serta dogmatis.[8]
DAFTAR PUSTAKA
Arifin
Muzayyin, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Jakarta:Bumi Aksara, 2003.
Tafsir Ahmad, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, Bandung:
PT Remaja Rosdakarya, 2003.
Yunus Mahmud, Pokok-Pokok Pendidikan Dan Pengajaran, Jakarta:
PT Hidakarya Agung, 1978.
Arifin,
Ilmu Pendidikan Islam , Jakarta: Bumi Aksara, 2000.
Nazarudin,
Manajemen Pembelajaran, Jogjakarta:Teras, 2007.